Dubes Rusia Lyudmila Vorobieva dan Muhaimin Iskandar Bahas Krisis Global Pasca Konflik Rusia Ukraina

ARCOM.CO.ID ,Bandung. Duta Besar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia, Lyudmila Vorobieva, bersama Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar menjadi pembicara di Seminar, “Ekonomi Dunia Pasca Konflik Rusia-Ukraina Menuju Multipolarisme”, Selasa, (24/1/2023), di Suagi Ballroom The Papandayan Hotel, jalan Gatot Subroto kota Bandung,
Seminar ini diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung Koordinator Jawa Barat bekerjasama dengan Komite Persahabatan Indonesia-Rusia.
“Krisis dunia saat ini memberikan kesempatan untuk Indonesia dan Rusia untuk membangun sistim bisnis, industri, teknologi dan energi baru yang dapat meningkatkan keuntungan bersama kedua negara,” kata Lyudmila Vorobieva di awal paparannya.
“Banyak pebisnis Rusia ingin bekerjasama dan masuk ke Indonesia, karena bagi kami Indonesia adalah kunci kerjasama di Asia Tenggara sejak masa Presiden Soekarno,” ujar Lyudmila Vorobieva.
Lebih lanjut Lyudmila Vorobieva mengungkapkan, saat ini Rusia berada di tengah sanksi barat yang sangat tidak adil dan tidak efektif.
“Kami bisa membuktikan berbagai sanksi ekonomi menjadikan negara kami kuat,” tegas Lyudmila Vorobieva, “Kami ingin berbagi pengalaman untuk membangun sebuah sistem baru yang lebih adil,” ujarnya.
Lyudmila Vorobieva mengungkapkan, perang di Ukraina adalah perang barat untuk menghancurkan Rusia dengan lokasi di Ukraina, “Konflik ini bukan tentang Ukraina, saya lahir di Kyiev, Ukraina, kami semua bersaudara antara Rusia dan Ukraina, namun Ukraina menjadi alat politik untuk mengganggu Rusia” tegasnya.
“Meraka tidak setuju dengan
pemerintah Rusia selama puluhan tahun, semua negara menjadi kolonial barat,” ungkap Lyudmila Vorobieva.
“Indonesia paling tahu soal ini, kami tidak setuju kolonialisme barat, dan tidak ada negara yang mau menjadi bagiam dari kolonialisme,” pungkas Lyudmila Vorobieva.
Sedangkan Sekretaris Komite Persahabatan Rakyat Rusia-Indonesia, Muhammad Zulfan, mengatakan, dunia Multipolar tidak bisa ditolak, karena dunia sudah bergerak ke arah tersebut, “Gerakan ini bertujuan membangun tata dunia yang lebih adil,” ujarnya.
“Pasca Uni Soviet, dunia lebih berdarah darah, perang makin sering terjadi, Iraq, Afghanistan, Libya, Syria, dan Yaman,” ungkap Muhammad Zulfan, “Inilah yang terjadi ketika dunia jadi unipolar, imperium Amerika berkuasa penuh akan dunia, siapa saja yang tidak ikut dengan kepentingan mereka akan musnah,” ujarnya.
“Aneka sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang dianggap musuh masih terjadi, ribuan orang Iran, Venezuela, Cuba dan negara lain jadi korban akan siege warfare seperti ini,” ungkap Muhammad Zulfan, “Belum lagi color revolusion, dan kudeta terhadap semua rezim yang membangkang,” ujarnya.
“Akhirnya dunia bergerak menolak hegemoni ini, Rusia memulai di Syria bersama Iran, kemudian tensi di Ukraina makin memanas, imperium ingin menghukum Rusia, mencoba mengisolasi dan memecah Rusia dari dalam,” ungkap Muhammad Zulfan.
“Tapi kali ini seluruh dunia melawan bersama, tidak semua negara mau ikut dalam kerangka barat, malah barat mengisolasi diri sendiri,” ujar Muhammad Zulfan.
“Perubahan ini adalah awal menuju dunia yang lebih adil, tidak bisa lagi hegemoni memaksa yang lain untuk ikut mereka,” pungkas Muhammad Zulfan.
Sedangkan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar mengatakan, diprediksi situasi ekonomi politik dunia tidak stabil dan penuh tantangan, dan menurut BIN tahun 2023 adalah tahun yang gelap, bahkan 16 negara terancam bangkrut, “Potensi krisis pangan dunia menjadi ancaman nyata di tahun 2023,” ujar Muhaimin Iskandar.
“Indonesia harus bersiap terutama dalam hal ketahanan Energi, karena kebijakan energi harus diletakkan dengan menghitung secara cermat neraca energi nasional,” kata Muhaimin Iskandar.
“Kita importir besar untuk minyak, surplus energi adalah gas dan batubara, upaya-upaya untuk menutupi kekurangan produksi minyak harus menempatkan kepentingan nasional sebagai yang utama,” ujar Muhaimin Iskandar.
“Indonesia juga harus bersiap terutama dalam hal ketahanan pangan, jadi produksi pangan nasional harus ditingkatkan, produksi pangan nasional kita, terutama komoditi pangan strategis masih belum cukup aman, belakangan kita mendengar masih ada kebutuhan impor beras, dan impor komoditi pangan lainnya seperti gula, dan kedelai,” ungkap Muhaimin Iskandar.
Lebih lanjut Muhaimin Iskandar mengusulkan untuk komoditi di Indonesia yang pasarnya bagus harus mulai diterapkan, paling tidak sebagian menggunakan pembayaran dalam rupiah, sehingga dapat menopang stabilitas nilai rupiah.
“Saya kira rekan-rekan dari ISEI mungkin bisa mengurai masalah ini secara lebih dalam, pengelolaan cadangan devisa jika memang diperlukan serta penyesuaian regulasi harus segera dilakukan, juga koordinasi efektif di antara DPR, Bank Sentral, juga Pemerintah,” kata Muhaimin Iskandar.
Di akhir paparannya Muhaimin Iskandar mengatakan, dunia sedang menuju pada multipolarisme, barat tidak bisa lagi mendominasi norma, standar dan pengaturan ekonomi politik dunia. (FJR)