KSP Gelar “Kantor Staf Presiden Mendengar Bandung” Sosialisasikan UU TPKS

ARCOM.CO.ID ,Bandung. Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia menggelar kegiatan “Kantor Staf Presiden Mendengar Bandung”, Kamis, (4/8/2022), di Grand Tjokro Premiere jalan Cihampelas Bandung.

Hadir dalam kegiatan ini, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Dr. Ali Mochtar Ngabalin M.Si., Tenaga Ahli Madya KSP Erlinda, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, Kasubbag Sumda Setpusinafis Bareskrim Polri AKBP Rita Wulandari Wibowo, S.I.K., M.H., dan puluhan perwakilan Organisasi, Lembaga, serta instansi yang ada di Jawa Barat dan Bandung.

Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Dr. H. Moeldoko, S.I.P., dalam sambutannya melalui Tele Conference mengatakan, Kantor Staf Presiden bertugas memberikan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu-isu strategis.

“Kantor Staf Presiden bertanggung jawab dalam pengelolaan isu-isu strategis melalui pemantauan atau monitor skala lokal, nasional, maupun internasional,” kata Moeldoko.

“Salah satu isu strategis yang menjadi perhatian Kantor Staf Presiden adalah terkait akselerasi Implementasi dan sosialisasi Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap pemangku kepentingan di wilayah,” ujar Moeldoko.

“Guna menunjang optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi kedeputian dalam hal komunikasi politik khususnya kepada kelompok-kelompok strategis dan stakeholder terkait, maka kami menyelenggarakan Kantor Staf Presiden Mendengar,” kata Moeldoko.

“Agenda ini bertujuan menerima aspirasi peserta wilayah secara langsung terkait isu UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Moeldoko, “Gunakan forum ini sebaik-baiknya, efektif bermanfaat,” pungkasnya.

Sedangkan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Dr. Ali Mochtar Ngabalin M.Si., mengatakan, KSP melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memerintahkan masing-masing Kedeputian mengadakan KSP Mendengar, “KSP Mendengar efektivitasnya luar biasa, karena tidak semua orang bisa datang ke KSP,” ujarnya.

“Kami melakukan KSP Mendengar keliling Indonesia dari Aceh sampai Papua,” ungkap Ali Mochtar Ngabalin, “Kami melakukan KSP Mendengar secara Online sebanyak 16 kali serta Offline sebanyak 23 kali, dan Bandung adalah yang ke-24,” ujarnya.

“Kegiatan KSP Mendengar selalu terekam dengan baik, dan dihadiri berbagai pihak seperti Bareskrim Polri, dan Kementerian,” ungkap Ali Mochtar Ngabalin.

“KSP Mendengar di Bandung terkait akselerasi Implementasi dan sosialisasi Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Ali Mochtar Ngabalin, “Undang-Undang TPKS ini luar biasa karena kepentingan sejagatnya memenuhi syarat,” ujarnya.

“KSP Mendengar di Bandung akan kita bahas, kita rekam, dan kita catat dengan baik, selanjutnya kegiatan di Bandung akan kami laporkan kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang kemudian akan disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo,” kata Ali Mochtar Ngabalin.

Lebih lanjut Ali Mochtar Ngabalin mengungkapkan, semua perkara tidak bisa diselesaikan, “Di lapangan juga banyak pengusaha mengeluh kepada KSP, maka mari kita gunakan momentum ini dengan baik,” ujarnya, “Kritik boleh tapi tidak baik apabila nyinyir,” pungkasnya.

Sedangkan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar mengatakan, terkait restitusi untuk korban, setiap restitusi untuk anak nilainya beda-beda nilainya, “Restitusi hanya stimulus,” ungkapnya.

“UU TPKS sedang mencari cara agar korban menjadi prioritas pertama, maka dana untuk korban tidak harus dari APBN dan APBD, tapi bisa juga dari CSR,” ungkap Nahar, “Negara saat ini sedang memikirkan hal tersebut, karena keuangan sangat sensitif,” ujarnya.

“Ada persoalan anggaran dan ada tanggung jawab negara, namun keduanya jangan dibentur-benturkan,” tegas Nahar, “Terakhir bagaimana mengimplementasikannya,” pungkasnya.

Terkait penegakan hukum, Kasubbag Sumda Setpusinafis Bareskrim Polri AKBP Rita Wulandari Wibowo, S.I.K., M.H., mengatakan bahwa substansi yang tertuang dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memuat pengualifikasian sembilan jenis TPKS dan sepuluh TPKS lainnya yang telah diatur dalam undang-undang yang existing seperti Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, “Namun dalam penerapannya tidak akan terjadi tumpang tindih karena tetap menggunakan ketentuan dalam undang-undang yang telah mengatur, sedangkan hukum acaranya menggunakan UU TPKS,” ungkapnya.

“Dalam menangani TPKS, penyidik tidak dapat melakukan Restorative Justice (RJ) atau perdamaian dengan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak,” ujar Rita Wulandari.

“Untuk proses penegakan hukum di UU TPKS menyebutkan cukup keterangan saksi dan atau korban disertai satu alat bukti sah lainnya untuk membuktikan pelaku bersalah, yang dimaksud disini bukan satu keterangan saksi atau korban saja namun beberapa saksi yang bersesuaian termasuk saksi yang tidak mendengar, melihat atau mengalami sendiri,” ungkap Rita Wulandari.

Lebih lanjut Rita Wulandari mengungkapkan di Polri ada Unit PPA di tingkat Bareskrim Polri, Polda dan Polres yang akan bersinergi dengan UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) dibawah KPPPA yang menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam menangani korban TPKS melalui skema One Stop Crisis Center agar menghindari korban mengalami reviktimisasi akibat diperiksa beberapa pihak dan harus menceritakan berulang peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya ke beberapa pihak, “Diharapkan dalam penanganan terpadu mengedepankan responsif gender dan jangan ada ego sektoral,” tegasnya.

“Korban KS dapat meminta pelindungan sementara kepada Polri untuk mendapatkan rasa aman dengan pembatasan gerak pelaku,” kata Rita Wulandari, “Hak pelindungan lainnya yaitu kerahasiaan identitas korban yang harus ditaati oleh semua pihak meskipun tidak diatur sanksi pidananya seperti pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” tegas Rita Wulandari.

Lebih lanjut Rita Wulandari mengungkapkan, penyidik wajib menanyakan restitusi kepada korban dan disampaikan kepada LPSK, terkait restitusi Penyidik memiliki kewenangan melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku sebagai jaminan Restitusi dengan memperhatikan hak pihak ketiga tanpa menunggu putusan pelaku dinyatakan bersalah, “Khusus untuk pelaku anak, pembayaran restitusinya dibebankan kepada orang tuanya,” pungkasnya.

Tenaga Ahli Madya KSP Erlinda secara singkat mengatakan, saat ini UU TPKS sudah bisa diimplementasikan, “Silahkan para peserta memberikan sumbang saran,” ujarnya.

Salah satu peserta Susane Febriyati Soeriakartalegawa, SH., selaku Ketua Umum Srikandi Pasoendan Ngahiji yang juga Advokat LBH Sumedang Larang mengungkapkan, saat ini kekerasan seksual masih dianggap tabu, “Maka pendekatan agama adat dan budaya sangat perlu juga pendekatan kearifan lokal,” ujarnya.

“Saya mengapresiasi UU TPKS karena sanksinya langsung keras, namun fakta di lapangan, kekerasan seksual mengikuti perkembangan zaman,” ujar Susan, “Saat ini UU traficking belum maksimal, dan jangan sampai regulasi menjadi mandul,” pungkasnya.

Sedangkan peserta bernama Hendi mengungkapkan, UU TPKS isinya sulit dipahami orang awam karena penuh bahasa hukum.

“Pencegahan tetap harus dilakukan dan TPKS perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah karena anak harus dididik sejak kecil dan diharapkan kasus kekerasan seksual berkurang,” kata Hendi.

“Satu lagi yakni pentingnya memberikan penghargaan kepada perusahaan dan institusi yang mendukung UU TPKS agar ada efek domino kepada pihak lainnya,” pungkas Hendi.

Seperti diketahui, salah satu yang menjadi tanggung jawab KSP dalam pengelolaan isu-isu strategis adalah melalui pemantauan media lokal, nasional, dan internasional.

Dan salah satu tugas dari komunikasi politik yang dilakukan adalah membangun komunikasi antar Kementerian dan Lembaga, juga stekholder terkait di wilayah.

Salah satu isu srategis yang menjadi perhatian Kantor Staf Presiden adalah terkait akselerasi Implementasi Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhadap pemangku kepentingan di wilayah.

KSP Mendengar merupakan agenda rutin Kantor Staf Presiden Bidang
Komunikasi Politik yang bertujuan untuk menjaring aspirasi mulai dari kritik/saran terhadap pemerintahan, pengaduan terkait konflik pada isu lokal dan nasional, dan informasi-informasi yang bisa didapatkan saat di lapangan lokasi KSP Mendengar, seperti saat ini yang diselenggarakan di Bandung.

Kegiatan ini membahas isu terkait Akselerasi Implementasi dan Sosialisasi Penyusunan Turunan Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), karena masih masifnya kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka perlu dilakukan akselerasi penyelesaian sejumlah aturan pelaksanaannya yang diberi waktu dua tahun setelah diundangkan baik diatur dalam bentuk Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.

Untuk itu butuh kesungguhan dari para pemangku kepentingan
untuk mendukung baik dari segi kapasitas, struktur dan pelaksana yang terintegrasi.

Harapannya agar kekerasan seksual dapat dihindari dan negara dapat benar-benar melindungi setiap warganya dari ancaman tindak kekerasan seksual.

Diharapkan dalam kegiatan “Kantor Staf Presiden Mendengar Bandung” ada solusi terkait masalah-masalah yang terjadi dan upaya mitigasi di lapangan terkait Akselerasi Implementasi Penyusunan Turunan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (BRH / FJR)