PADI dan Program Magister Konservasi Laut Unpad Gelar International Webinar Konservasi Laut

ARCOM.CO.ID ,Bandung. Padjadjaran Inisiatif (PADI) bersama Program Magister Konservasi Laut Universitas Padjadjaran menggelar International Webinar Konservasi Laut melalui aplikasi Zoom, Senin, (8/3/2021).

Webinar Konservasi Laut kali ini mengambil tema, “Arah Kebijakan Tata Kelola Sumber Daya Kelautan Menuju Budidaya Ramah Lingkungan: Perspektif Indonesia dan Malaysia”, Webinar ini dipandu oleh R. Nugroho Adinegoro, S.Ikom., sebagai Direktur Eksekutif Padjadjaran Inisiatif.

Webinar Konservasi Laut dibuka oleh Wakil Dekan FPIK Universitas Padjadjaran, Dr. Ir. Rita Rostika, M.P., dilanjutkan sesi pemaparan materi dari para narasumber yaitu, Drs. Sapto Purnomo Putro, M.Si., Ph.D., Guru Besar Marine Ecology and Aquaculture, dan Ketua CeMebsa Universitas Diponegoro, H. Muhammad Nasir Yusof, B.Sc. (Hons), ProdEng & Mgt, dipMechEng, MBA., CQA., full member of Marine Fish Farmers Association of Malaysia (MFFAM), Drs. Imam Kadarisman, pelaku usaha perikanan budidaya, pendiri PT. Rekayasa Agromarin Indonesia, sekaligus Ketua Pengawas Padjadjaran Inisiatif, serta Dr. sc. agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi. M.Si., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, sekaligus peneliti senior dan Pembina Padjadjaran Inisiatif.

Yudi Nurul Ihsan sebagai Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad sekaligus Pembina Padjadjaran Inisiatif dalam Webinar ini menyoroti banyaknya komoditas yang potensial yang dimiliki oleh Indonesia.

“Tidak ragu lagi Indonesia layak diberi gelar sebagai “The Largest Marine Mega-Biodiversity in the world”, kata Yudi Nurul Ihsan di awal paparannya.

“Namun potensi saja belum cukup untuk memajukan pembangunan, masih banyak tantangan yang kita hadapi, di antaranya kekurangan data spasial, infrastruktur yang masih lemah, akses pasar yang terbatas, kapasitas SDM, serta kapasitas penampungan dan pengelolaan yang harus ditingkatkan,” ungkap Yudi Nurul Ihsan.

Sedangkan Sapto P. Putro, Ketua CeMebsa Universitas Diponegoro mengatakan, pembangunan di sektor perikanan dan kelautan tentunya memiliki dampak terhadap lingkungan.

“Struktur makrobentos akan terpengaruh oleh eksploitasi, namun deteksi dampak lingkungan bisa dilakukan oleh biomonitoring,” ungkap Sapto P. Putro.

“Keramba juga bisa didesain sedemikian rupa agar biota yang ada bisa saling menyokong dalam rantai makanan, sehingga meminimalisir gangguan lingkungan,” ujar Sapto P. Putro.

M. Nasir Yusof, full member dari Marine Fish Farmers Association of Malaysia (MFFAM) menambahkan, ekosistem, keanekaragaman hayati, dan budidaya berkelanjutan adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan.

“Pemerintah harus membatasi zona budidaya dari zona laut yang sibuk, nelayan harus terdaftar dan tersertifikasi sebagai nelayan yang memiliki praktik-praktik budidaya berkelanjutan,” tegas M. Nasir Yusof.

“Di Malaysia sendiri, nelayan ditantang untuk menanami kembali terumbu karang yang rusak akibat aktivitas eksploitasi, serta ada pembatasan panen dengan rasio 50% dari seluruh populasi budidaya untuk menjaga kelestarian spesies,” ungkap M. Nasir Yusof.

Sedangkan Imam Kadarisman, Ketua Pengawas Padjadjaran Inisiatif dan praktisi perikanan budidaya menjelaskan tentang kuda laut sebagai contoh sumber daya kelautan yang dibatasi eksploitasinya.

“Kuda laut kering bisa dikumpulkan hingga satu kilogram per hari pada 1998, tapi saat ini kuda laut kering hanya bisa dikumpulkan satu hingga dua kilogram per musim, bukan lagi per hari,” ungkap Imam Kadarisman.

“LIPI sudah menutup rekomendasi penangkapan kuda laut untuk perdagangan, namun ekspor masih diperbolehkan dari hasil pengembangbiakan spesies H. Kuda dan H. Comes,” ungkap Imam Kadarisman yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum IKA Unpad

“Solusi eksploitasi kuda laut adalah penangkaran dan pengembangan budidaya, Aspek sosial ekonomi dan lingkungan akan terlindungi, melalui kegiatan pembenihan di hatchery,” kata Imam Kadarisman.

“Dalam konteks eksploitasi sumber daya kelautan, upaya lingkungan akan kalah oleh upaya ekonomi,” ujar Imam Kadarisman.

“Belum lagi adanya diskontinuitas kebijakan pemerintah terkait konservasi, oleh karena itu, penangkapan harus bergeser menjadi budidaya,” kata Imam Kadarisman, “Budidaya ini harus dilakukan dengan konsep ramah lingkungan demi keberlanjutan sumber daya kelautan kita,” pungkasnya.

Seperti diketahui, kegiatan manusia di laut, sedikit banyak akan berdampak kepada kondisi laut.

Terlebih saat ini kegiatan manusia dan pembangunan bersifat antroposentris (mengutamakan kepentingan manusia itu sendiri), bukan bersifat ecosentris (mengutamakan kepentingan lingkungan).

Lambat laun nilai sumberdaya laut akan menurun jika kita melakukan eksploitasi berlebihan, apalagi jika dilakukan secara destruktif.

Penurunan nilai tersebut akan terjadi baik secara ekonomi maupun secara teknis, maka timbulah istilah konservasi, atau conservation, yang artinya pelestarian atau perlindungan.

Oleh karenanya dibuatlah kawasan-kawasan konservasi di laut sebagai suatu upaya untuk melindungi suatu sumberdaya laut kita dari kepunahan pada saat sumberdaya tersebut sudah mulai terdegradasi atau mengalami krisis akibat eksploitasi berlebihan.

Menurut IUCN 1998, Kawasan Konservasi Laut adalah suatu kawasan laut atau subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, flora, fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di dalamnya, dan telah dilindungi oleh hukum dan peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut.

Dalam konteks Indonesia. Kawasan Konservasi Laut disebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan, seperti yang tercantum pada PP No. 60 tahun 2007.

Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Konservasi lingkungan harus dilakukan, untuk kelestarian sumberdaya hayati dan tentu saja untuk keberlanjutan umat manusia.

Tapi upaya ini bukanlah upaya mudah, dengan dibukanya keran otonomi daerah pada masa pasca Orde Baru, maka setiap daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alamnya, atas nama peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Dalam konteks ini, upaya lingkungan akan kalah oleh upaya ekonomi, pembangunan akan dilakukan terus-menerus tanpa memperhitungkan daya tampung, daya dukung dan daya lenting lingkungan.

Selain faktor ekonomi, faktor kesadaran masyarakat juga menjadi penghambat penegakan konservasi lingkungan.

Masyarakat cenderung mengeksploitasi alam seluas-luasnya untuk kepentingan sesaat tanpa mempertimbangkan kelanjutan sumber daya yang ada.

Penghambat lainnya tentu saja adalah dari pemangku kebijakan (Pemerintah Pusat maupun Daerah), yang tidak memiliki regulasi yang jelas dan tegas untuk kelestarian lingkungan, atau ada yang sudah memiliki regulasi tapi tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengimplementasikannya.

Pemerintah telah membuat Kebijakan Kelautan Indonesia (KKL), yang di dalamnya diatur tentang diplomasi maritim yang juga sudah dibakukan dalam Peraturan Presiden No.16/2017.

Namun proyek-proyek seperti reklamasi, proyek destinasi wisata baru, konsesi pertambangan di pesisir, serta berbagai proyek lainnya berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir.

Di saat yang sama, kesejahteraan masyarakat pesisir justru berjalan di tempat, masyarakat pesisir justru kehilangan pendapatan karena pembangunan, seperti yang terjadi di proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). (BRH / RLS)